Dilema Dakwah Dalam Rumah Tangga

Oleh: Ustadz Abu Ammar al-Ghoyami

Berdakwah merupakan kewajiban yang Alloh azza wajalla bebankan kepada siapa saja yang memiliki ilmu tentang al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar. Alloh yang memikulkan ikatan perjanjian yang kuat di atas pundak-pundak mereka untuk menyampaikan ilmunya kepada manusia secara umum dan tidak menyembunyikannya. Sebagaimana Alloh firmankan dalam ayat al-Qur’an yang (artinya):

Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya.”…. (QS. Ali Imron [3]: 187)

Saat ini fenomena dakwah dalam keluarga telah menjadi sebuah dilema, apalagi bila harus ditinjau dalam masyarakat yang lebih luas. Bila dalam sebuah rumah tangga seorang suami lebih alim dari istrinya, atau orang tua lebih alim dari anak-anaknya maka mungkin dilema itu tidak sedemikian menyiksa, sebab dengan kedudukan serta wibawa suami maupun para orang tua yang tinggi akan dengan mudah mereka bisa melangsungkan kewajiban dakwah ini kepada istri atau anak-anaknya. Namun ternyata fakta menunjukkan banyak suami yang kurang tahu ilmu dibanding istrinya, atau banyaknya anak yang lebih berilmu ketimbang bapak maupun ibunya, sehingga dakwah menjadi sebuah dilema. Di mana dakwah yang harus dilakukan oleh istri kepada suaminya atau yang harus dilakukan oleh anak-anak kepada orang tuanya terbentur dengan keagungan dan ketinggian serta keluhuran kedudukan suami atau orang tua.

Kenyataan ini makin meyakinkan kita akan arti penting hikmah atau bijak dalam berdakwah. Terlebih lagi dakwah kepada keluarga terutama kepada suami atau orang tua. Hikmah artinya seseorang harus benar-benar memahami dan menguasai keadaan dengan sebaik-baiknya, sehingga ia akan menempatkan segala urusan pada posisinya dan menyelesaikan masalah sekadar dengan proporsinya. Karena tidak menutup kemungkinan, dakwah akan berakibat kedurhakaan istri kepada suaminya atau anak kepada orang tuanya bila kehilangan hikmah di dalamnya. Sebagaimana ia mungkin menimbulkan sikap menentang dan mengingkari kebenaran bila dakwah itu kering dan kasar tiada sedikitpun kelembutan hikmah padanya. Maka harus selalu diingat bahwa Alloh memerintahkan agar dakwah dilakukan dengan penuh hikmah, sebagaimana dalam firman-Nya (yang artinya):

Serulah (manusia) kepada jalan Robb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik… (QS. an-Nahl [16]: 125)

Yang termasuk hikmah bagi para istri yang mendakwahi suaminya atau para anak yang mendakwahi orang tuanya yaitu hendaknya tidak tergesa-gesa dalam mengharap hasil dakwahnya. Juga hendaknya memahami keadaan suami atau orang tuanya, hendaknya selalu diingat bahwa orang yang tidak tahu tidaklah sama dengan orang yang tahu tetapi tidak melaksanakan apa yang ia tahu. Begitu juga orang yang menentang tidak seperti orang yang lunak lagi mudah berserah diri pada kebenaran. Sehingga harus dipahami bahwa dakwah yang disampaikan harus sesuai dengan setiap situasi dan kondisi yang ada.

Adapun hikmah bagi setiap yang didakwahi, termasuk suami dan para orang tua, hendaknya memahami kenyataan di mana memang mereka membutuhkan penerangan ilmu, sehingga dakwah istri atau anak-anak yang penuh hikmah itu harus diterima dengan lapang dada dan jiwa yang menerima. Janganlah ketinggian kedudukan dan martabat di atas orang yang menyampaikan ilmu kepadanya dengan penuh kelembutan dan sejuknya hikmah justru menjadikan diri menjadi silau menerima kebenaran yang merupakan pelita penerang jalan hidup menuju keridhoan Alloh azza wajalla. Wallohul Muwaffiq.

Tinggalkan komentar